Kamis, 10 Januari 2013

ALAM KOSONG



KETIKA ALAM MASIH KOSONG SAMPAI TRI LINGGA TURUN KE BALI

Om Swastyastu,
Om A No Bhadrah Kratawo Yantu Wiswatah,
Para pembaca yang budiman, sebelum saya mulai menghaturkan jalannya ceritera Betara Kasuhun Pasek Gelgel Pesawangan di Sawangan, khususnya leluhur kami (“Kaki Bongol dan Kaki Djelantik”), marilah kita heningkan pikiran sejenak, menghormat Kehadapan Betara Iswara, Betara Hyang Agni Jaya, Hyang Putra Jaya, Hyang Dewi Danuh, Betara Mpu Gni Jaya apriyangan di Lempuyang Madya, Betara Mpu Ghana apriyangan di Dasar Bhuwana, Betara
Mpu Semeru apriyangan di Besakih, Betara Mpu Kuturan apriyangan di Silayukti dan Sang Hyang Aji Saraswati.
Memohon semoga Betara-Betari, asung lugraha dan asung kertha wara nugraha, kepada kita sapretisentananya, yang ingin mengetahui adanya Betara-Betari di
Bali khususnya di Sawangan.
Sekali lagi, damuh Paduka Betara-Betari (Penulis), dengan hati yang penuh kesucian, mohon agung pangampura kehadapan Paduka Betara, karena damuh Paduka Betara-Betari berani (langgana) mengisahkan dan menyebut-nyebut nama-nama Paduka Betara-Betari, yang tiada lain karena tujuan suci, berbhakti kehadapan Betara-Betari, agar para damuh Paduka Betara-Betari, sama mengenal Paduka Betara-Betari.
‘Ksamakna hulun de Hyang Mami, mwang Dewa Bhatara makadi Hyang Kawitan, moghi hulun tan kneng upadrawa tulah pamidi, nimitaning hulun, ngutaráken katatwan ira, sang wusamungguh ring tmagawasa, lepihaning kawitan, kang wenang kasungsung de treh…………’. (Leluhur Orang Bali, Drs. I Nyoman Singgin Wikarman, hal. 1).


Artinya :
‘Maafkanlah hamba oleh junjungan hamba, dan para dewa-dewa pelindung, seperti halnya para leluhur, semoga hamba tidak mendapat kutukan, lancang. Sebab hamba menuturkan prihalnya beliau, yang telah bersthana pada lempengan tembaga, lempiran Leluhur, yang seterusnya dijunjung oleh turunan………’.
Semoga setelah sama mengenal Betara-Betari, akan segera ingat kembali kepada sumbernya, timbul suatu hasrat suci, berbhakti kehadapan Betara-Betari, setia mengemban lingning Bhisama, demikian juga setia mengemban Kahyangan dan selalu ingat kepada Pamujawalinya.
Selanjutnya, sebelum saya haturkan kisah Pasek Gelgel Sawangan Pratisentana Kaki Bongol dan Kaki Djelantik, terlebih dahulu akan saya haturkan sedikit tentang turunnya Tri Lingga di
Bali.
Seperti terungkap dalam Babad Pasek bahwa pada jaman bahari tahun Çaka 11 (tahun 89 M), Gunung Agung meletus dengan dahsyatnya, yang mengakibatkan rusaknya Nusa Bali. Hyang Harimbawa sangat mudahnya menggoyahkan Nusa Bali dan Seleparang (Lombok). Pasca bencana alam tersebut, di Bali hanya masih tersisa 4 gunung (Catur Loka Pala) yaitu di Timur Gunung Lempuyang, di sebelah Barat Gunung Watukaru, di sebelah Selatan Gunung Andakasa, dan di sebelah Utara Gunung Beratan. Karena demikian rusaknya Nusa Bali, maka Hyang Pasupati yang bersthana di Gunung Semeru, sangat prihatin melihatnya, maka Hyang Pasupati berkenan membongkar sebagian di bagian barat dari lereng Gunung Semeru, untuk dipindahkan ke Bali dan Seleparang (Lombok).
Perintah Hyang Pasupati ; Ki Bedawang Nala diperintahkan sebagai dasar Gunung yang akan dipindahkan, Sang Naga Basukih dan Sang Ananta Boga menjadi tali pengikat, Sang Naga Taksaka yang menerbangkannya, lanjut diturunkan di Bali dan Seleparang, pada hari Wrhaspati (Kamis) Umanis, wara Merakih, panglong ping 15, Sasih Karo, Tenggek 1, Rah 1, Candra Sangkala Eka Tang Bhumi, tahun Çaka 11 (Bulan Agustus 89 M). Ketika membawa potongan gunung itu ada bagian-bagian yang tercecer. Bagian yang kecil menjadi Gunung Lebah (Gunung Batur terletak di Kintamani, Bangli) sedangkan bagian yang lebih besar menjadi Gunung Tohlangkir yang sekarang dikenal dengan nama Gunung Agung di daerah
Karangasem. Banyak hal-hal yang terjadi pada waktu itu, mulai saat itulah awal mula NusaBali. Setelah terwujud kesemuanya itu, Hyang Pasupati di Gunung Semeru memanggil semua putra-putranya, setelah sama-sama berada di hadapan Hyang Pasupati, sabda Betara Kasuhun :
“ Wahai anakku bertiga, Agni Jaya, Putra Jaya dan Dewi Danuh, tidak lain anakku bertiga kusuruh pergi ke Bali, membangun kembali Nusa Bali dan nantinya anakku bertiga menjadi pujaan orang Bali”.
Betara Tiga menghaturkan sembah, serta haturnya : “Paduka Betara, hamba ini masih kanak-kanak, tidak tahu jalan menuju Nusa Bali dan belum sanggup memelihara Nusa Bali”.
Sabda Hyang Pasupati: “Anakku bertiga, jangan kamu bersusah hati aku akan memberi engkau bertiga wahyu, supaya kehendakmu semua tercapai, kamu bertiga adalah anakku tercinta, wajib nanti menjadi pujaan orang-orang Bali, sampai akhir jaman”.
Hyang Pasupati beryoga, memberikan anugrah kepada anaknya bertiga, segera juga Betara bertiga menghaturkan sembah penghormatan kehadapan Hyang Pasupati. Betapa ramainya suara genta pemberkatan dan suara genta penghormatan dari Betara bertiga (Hyang Agni Jaya, Hyang Putra Jaya dan Hyang Dewi Danuh) kehadapan Hyang Pasupati. Banyak hal-hal yang terjadi pada waktu itu.
Setelah Betara bertiga diberkati, segera digaibkan ke dalam seludang kelapa gading, dikirim/berjalan melalui dasar laut dan bumi. Demikian cepatnya, Betara bertiga telah sampai di Puncak Gunung Tohlangkir (Agung), pada hari Sukra (Jumat) Kliwon, wara Tolu, sasih Kelima, Penanggal ping 3, rah tenggek 13 (Bulan November) tahun Çaka 113 (191 M), Gunung Agung meletus sangat hebatnya, api menyembur keluar dari lubang kepundan Gunung Agung, gempa, kilat berkesinambungan tiada putus-putusnya. Ditambah pula dengan suara dentuman-dentuman letusan, hujan sangat lebatnya, lahar mengalir ke seluruh penjuru, kejadian ini berlangsung sampai dua bulan lamanya. Demikian suatu pertanda kehadiran Batara bertiga di Nusa Bali.
Tidak beselang lama, entah beberapa tahun kemudian, Betara bertiga sama-sama membagi tugas: Hyang Agni Jaya yang menjalankan tugas Kependetaan, ngemban Betara Iswara di Pura Sadkahyangan Agung Lempuyang luhur, Hyang Putra Jaya, yang mengemban tugas Kepemerintahan, apryangan di Gunung Agung (Tohlangkir), Hyang Dewi Danuh yang mengemban tugas Kemakmuran apryangan di Ulundanu Batur.
Hyang Pasupati di Gunung Semeru, mengutus lagi Putra Putrinya datang ke Bali, memperkuat kedudukan Betara bertiga, masing-masing yaitu : Hyang Tugu, Hyang Manik Gayang, Hyang Manik Gumawang dan Hyang Tumuwuh. Setibanya di Bali langsung menghadap Hyang Putra Jaya di Gunung Agung – Puncak Tohlangkir. Gunung Agung meletus pada waktu Sang Catur Purusa tiba di Bali. Setelah selesai penghadapan kehadapan Betara Tiga, Sang Catur Purusa ditugaskan:

1. Hyang Tugu ditugaskan apryangan di Gunung Andakasa.
2. Hyang Manik Gayang ditugaskan apryangan di Pejeng.
3. Hyang Manik Gumawang ditugaskan apryangan di Gunung Beratan.
4. Hyang Tumuwuh ditugaskan apryangan di Gunung Watukaru.

Demikianlah taatnya Sapta Dewata-Dewati menjalankan swadharmanya masing-masing, mulailah tenang keadaan Nusa Bali, Sang Harimbawa tidak dapat lagi menggoyahkan NusaBali dan Seleparang.
Pada suatu hari yang sangat baik, ketujuh Putra-Putri Hyang Pasupati, sama berkumpul pada suatu tempat yang suci di kaki Gunung Agung, berbincang-bincang. Adapun yang diperbincangkan tiada lain mengenai keadaan Nusa Bali, yang masih sunyi senyap. Bertalian dengan hal-hal tersebut diatas, ketujuh Putra-Putri Hyang Pasupati mengambil suatu keputusan, untuk menghadap kehadapan Hyang Pasupati ke Gunung Semeru. Tiada diceritakan hal-hal yang terjadi dalam perjalanan, karena telah sama-sama berbadan suci, begitu pergi begitu pula sampai di tempat tujuan. Segera saja menghadap Hyang Pasupati, dengan tata cara kedewataan, Hyang Maha Suci. Melihat Putra-Putrinya datang, memperkenankan mereka sama duduk lalu bersabda : “Wahai Putra-Putriku tercinta, apa gerangan tujuan anakku menghadap ayahanda”. Matur Betara-Betari semua, sambil mengucapkan mantra sucinya, sebagai dasar penghormatan kehadapan Hyang Pasupati : “Betara, anaknda datang menghadap ini, perlu menyampaikan adanya Nusa Bali yang sangat kosong, tiada seorang manusiapun yang menyungsung anaknda. Kiranya patut, hanugrahilah anaknda manusia ke Bali, untuk turut mengemban Nusa Bali dan menyungsung anaknda di Bali”.
Sabda Hyang Pasupati yang disertai dengan mantra sucinya: “Anakku semua, terimalah anugrahku, segala kehendak anaknda akan berhasil, tunggulah ayah di Nusa Bali”.
Betara Hyang Agni Jaya beserta adik-adiknya, menghormat menghaturkan puja kedamaian, bergema suara genta, bagaikan kumbang mengisap sari, lalu semuanya mohon diri pulang keBali. Banyak hal-hal yang terjadi pada waktu itu, Sapta Dewata-Dewati, semua sudah sama berbadan suci, begitu pamitan begitu pula sampai di Bali, serta langsung menuju Parhyangan masing-masing. Tiada beselang lama, di Gunung Semeru, Hyang Pasupati/ Hyang Premesti Guru menyusul turun ke Bali, diiringi oleh Dewata-Dewati, Rsi Gana dan Dewata Nawa Sanga, semua pergi ke Bali.
Betara Parameswara mempergunakan Padma Manik Anglayang diapit payung dan umbul-umbul, bergema suaranya genta serta doa puji-pujian, hujan kembang dari angkasa. Sedangkan Betara yang lain berbeda-beda kendaraannya, semua gembira mengiringi Hyang Pasupati. Banyaklah hal-hal yang terjadi pada waktu itu. Sedemikian cepatnya rombongan telah sampai di Bali/Puncak Tohlangkir, segera disambut oleh Hyang Agni Jaya beserta adik-adiknya, dengan tata cara kependetaan, ramai suara genta penyambutan.
Sabda Hyang Pasupati, setelah upacara penyambutan selesai : “Wahai anak-anakku semua, marilah kita sekarang pergi ke Ulundanu ke Kahyangan Dewi Danuh, disana kita semua beryoga semadhi, agar segera tercipta manusia yang anaknda cita-citakan”. Setelah bersabda lalu berangkat ke Ulundanu, begitu cepatnya akhirnya sampai di Kahyangan Hyang Dewi Danuh. Setelah selesai upacara penyambutan oleh Hyang Dewi Danuh, akhirnya semua Dewata-Dewati mencari suatu tempat yang suci, disana sama beryoga dengan sangat tekunnya, dihadapan api pedipaan, dengan harapan segera tercipta manusia.
Hyang Basundari (Tanah) diambil diyogai agar menjelma menjadi manusia. Tiba-tiba datang Betara Yamadipati, berwujud anjing hitam, tidak hentinya mengganggu yoga Betara Kabeh seraya berkata: “Betara-Betari, sekarang Betara berkehendak menciptakan manusia dari tanah, saya sangat sangsi, mustahil tanah itu akan menjadi manusia, saya akan bersumpah; saya akan sanggup memakan kotoran manusia itu bila tanah itu dapat menjadi manusia”.
Betara bersabda : “Apa katamu anjing, besar sekali kesanggupanmu kepadaku, sekarang dengarlah kataku baik-baik, bila aku tidak dapat menciptakan manusia, aku bukanlah kepala dari semua Dewa-Dewa. Patut aku ditenggelamkan ke dalam kotoran anjing”, terlalu sengit perdebatan itu.
Kemudian Betara beryoga, dengan tekunnya mempersatukan kekuatan bhatinnya, berkobar api dalam pemujaan, menjulang asapnya ke angkasa. Akhirnya setelah tercipta manusia, tiba-tiba manusia itu rusak, disaat itu, anjing hitam itu menggonggong; kong….kong…..kong suaranya. Kembali Betara beryoga, rusak lagi ciptaanya, anjingpun menggonggong lagi, hal ini terjadi sampai berulang-ulang, namun belum berhasil menciptakan manusia. Dewata-Dewati karena dikalahkan anjing, kembali beryoga dengan berbadankan Tri Loka, berkobar api pedipaan, Nusa Bali jadi bergetar, Sang Hyang Amerta keluar segera saja tercipta manusia ciptaan itu.
Betara Premesti Guru bersabda: “Hai anjing, sekarang kamu benar-benar telah kalah, ingatlah sumpahmu itu, mulai sekarang sampai seterusnya anjing harus memakan kotoran manusia”. Betapa malunya anjing itu menerima kutukan Betara, dia tiada menjawab apa-apa, kembali pulang dengan hati yang sangat sedih, menyesali akan perbuatannya, kembali berubah wujud menjadi Yamadipati, kembali pulang ke Yama Loka. Begitu tiba di Yama Loka, lalu berkata kepada seluruh rakyatnya, terutama kepada Ki Buta Kalika, katanya : “Hai Kalika dan para Kingkara Bala semua, kamu akan kuperintah turun ke dunia, menggantikan aku memakan kotoran manusia, turun-temurun, apa sebab demikian adalah karena aku kalah bertaruhan dengan Hyang Pasupati. Terimalah perintahku, gantilah diriku menjadi anjing, kelak apabila manusia telah meninggal, pada saat itu engkau bersama saudara-saudaramu menyiksa roh manusia yang berbuat jahat”. Demikian sabda Hyang Yamadipati, seluruh Kingkara Bala menunduk sambil berpikir, handainya menolak titah Betara Yamadipati itu, tentu akan dimusnahkan. Ki Buta kalika dan Kingkara Bala dengan sedih menuruti perintah Hyang Yamadipati.
Kembali kepada yoga Betara Ghuru, dalam menciptakan manusia dari serabut kelapa gading lahirlah dua orang manusia laki-perempuan, yang laki diberi nama Ki Ktokpita dan yang perempuan Ni Jnar. Kemudian mereka dikawinkan, berbahagialah perkawinan mereka, sangat baik suami istri, karena kehendak Dewata. Perkawinan mana menurunkan keturunan tidak putus-putusnya, laki atau perempuan. Selanjutnya Betara Kasuhun, beryoga kembali menciptakan manusia, akhirnya tercipta dua orang laki-perempuan, yang laki diberi nama Ki Abang dan yang perempuan diberi nana Ni Barak. Setelah mereka sama dewasa, lalu dikawinkan, lanjut menurunkan anak laki-perempuan. Banyaklah sudah manusia-manusia laki-perempuan ciptaan Betara di Bali, anak beranak kelanjutannya, yang terbanyak tinggal di Gunung Batur.
Hyang Premesti Ghuru, memerintahkan para Dewata-Dewati, agar sama turun ke Bali, mengajar apa-apa yang patut dilaksanakan manusia, lebih-lebih dalam hal mencukupi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Manusia-manusia itu mulai merasa lapar, dahaga, kedinginan, maka mulailah mereka diajar bercocok tanam, bersawah, atau berladang. Daerah Danau Baturlah yang menjadi pusat pertanian yang kepertama, bagi orang-orang ciptaan Dewata di Nusa Bali. Karena Hyang Dewi Danuh memegang kekuasaan di bidang kemakmuran.
Ramailah sekarang orang-orang menyungsung Hyang Dewi Danuh di Ulun Danu Batur. Sedemikian cepatnya perkembangan orang-orang di Nusa Bali, terpencar menyungsung Dewata-Dewati Putra-Putri Hyang Pasupati.
Kembali kepada Ki Abang dan Ni Barak yang sudah berumah tangga, mereka suami istri pindah ke tepi Danau, karena tempat itu cocok untuk bercocok tanam, Ki Abang mempunyai lima orang anak; empat orang laki-laki dan seorang perempuan. Lama-lama tempat Ki Abang disebut Desa Abang. Tentramlah keadaan Nusa bali, Sapta Dewata Dewati sangat tekunnya menjalankan swadharmanya masing-masing, demi keselamatan Nusa Bali.
Manusia tidak putus-putusnya mempunyai keturunan, saling ambil keambil tehadap misan mindon. Adapun mata manusia pada saat itu adalah semua hitam, serta dapat melihat dan berbicara dengan Dewa-Dewa. Para Dewata tetap menuntun manusia-manusia, bercocok tanam, bersawah, berkebun dan menanam segala keperluan hidupnya. Tidak terkatakan subur tanam-tanamannya itu, hingga pada suatu senja, tatkala Betara Kasuhun sedang berjalan-jalan, melihat perkampungan orang-orang ciptaannya, demikian juga sawah ladangnya, terutama mengenai hasil pertanian mereka.
Kemudian Betara dilihat oleh orang-orang, dengan segera mereka matur dengan sangat hormatnya, diantaranya matur “Betara hendak pergi kemana, sekarang”; Betara bersabda : “Aku hendak berjalan-jalan melihat-lihat tanam-tanaman dan pertanianmu”. Seorang diantara mereka matur lagi; “Bila demikian Paduka Betara, hamba akan mempersembahkan hasil pertanian hamba, yang paduka Betara kehendaki”, Betara berdiam tiada bersabda apa-apa. Percakapan itu didengar oleh Ki Baluan, betapa marahnya Ki Baluan melihat manusia matur kehadapan Betara sambil buang air. Ki Baluan berkata dengan marahnya kepada manusia itu, katanya; “Ih kamu manusia, yang rendah budi, tidak tahu peraturan, matur kehadapan Betara sambil buang air, pantaslah kamu penjelmaan berasal dari tanah di kepal-kepal”. Manusia itu menjawab dengan kemarahan juga, katanya ; “Apa Baluan, terlalu kata-katamu, mengungkapkan asal-usulku, sungguh kamu juga sangat hina, pura-pura tahu tatwa sesana, tidak menyadari juga asal-usulmu dari kumatat-kumitit. Iri padaku pura-pura saleh, lihatlah Betara tidak merasa tersinggung kepadaku”. Balik Ki Baluan berkata : “Engkau manusia yang sangat dungu, hina rupa hina pikiran, semoga kamu menjadi orang desa seterusnya atas dosamu merendahkan Dewa”, demikian keluar kata-kata Ki Baluan, karena panas hatinya.
Oleh karena peristiwa tersebut, Betara memanggil manusia semua, setibanya di penghadapan mereka diperintahkan menengadah dan mendelik matanya, Betara segera menoreh matanya dengan Kapur disertai kutukan, bahwa mulai saat ini manusia tidak dapat melihat para Dewa lagi sampai seterusnya, karena dosanya matur sambil buang air. Demikian kutukan Betara kepada manusia.
Sabda Betara : “Ini ada anugrahku kepadamu, seandainya kamu berkehendak menemuiku, kamu akan dapat bertemu denganku, apabila ajalmu telah sampai”. Begitulah sabda Hyang Parama Wisesa. Semua hadirin menyembah Paduka Betara dan seterusnya pulang ke rumah masing-masing dengan hati yang sangat sedih. Demikianlah asal mula manusia tidak dapat melihat Para Dewa. Dalam perjalanan pulang, mereka bertemu dengan Ki Baluan. Manusia itu berkata kepada Ki Baluan, katanya: “Hai kamu Baluan, kebetulan kita bertemu lagi, aku bersumpah padamu, bahwa mulai sekarang sampai seterusnya manusia akan menjadi musuhmu, kelak keturunanku akan membunuh keturunanmu terus menerus”. Menjawab Ki Baluan; “Aku tidak menolak apa kata-katamu, tetapi ada pula sumpahku padamu. Pada waktu kajeng kliwon, waktu itu keturunanku akan membunuh keturunanmu dengan jalam menjilat mata kaki dan hulu hatinya sampai keturunanmu menemui ajalnya. Baiklah, hal ini kita akan sampaikan kepada turunan masing-masing”. Ki Baluan mohon anugrah Dewata, agar badannya dapat berubah-ubah, sesuai dengan tempatnya, untuk mengelabui kejelasan pandangan manusia.
PUSTAKA BABAD PASEK 00:23

LAHIRNYA PANCA TIRTHA

Mari kita kembali kepada hal-hal yang terjadi di Puncak Tohlangkir. Pada tahun Çaka 27 (th 105 M) Gunung Agung meletus lagi dengan sangat hebatnya, entah hal-hal apa yang terjadi pada waktu itu. Beberapa tahun kemudian, tahun Çaka 31 (th 109 M), Betara Tiga beryoga di Puncak Tohlangkir (Gunung Agung), untuk membersihkan Nusa Bali tepatnya pada hari Anggara (Selasa) Kliwon, wara Kulantir, dikala bulan Purnama raya, Sasih Kelima, atas kekuatan yoga Betara Tiga, Gunung Agungpun meletus lagi dengan sangat hebatnya.
Memang Dewata telah mengatur sedemikian rupa, setiap upacara besar keagamaan di Baliyang besifat umum, Gunung Agung tetap meletus atau paling tidak akan terjadi gempa bumi. Setelah upacara pembersihan Nusa Bali, pada tahun Çaka 31 itu juga Gunung Agung masih meletus, pada hari yang sangat baik, Betara Tiga di Puncak Tohlangkir, sama bertujuan agar mempunyai putra, maka Betara Hyang Agni Jaya dan Hyang Putra Jaya beryoga dengan sangat hebatnya, menghadapi api pedipaan, betapa alunan suaranya bunyi genta, hujan kembang dari angkasa.
Akibat dari kekuatan/kesucian yoganya Betara kalih, Gunung Agung menambah hebat letusannya lagi, keluar banjir api dari lubang kepundannya, kilat, gempa berkesinambungan, hujan sangat lebatnya, dentuman-dentuman suara letusan tiada hentinya. Maka dari kekuatan yoga Hyang Agni Jaya, keluar dari Panca Bhayunya seorang laki-laki bernama Mpu Withadharma. Alkisah Mpu Withadharma alias Çri Mahadewa melakukan yoga semadi dengan teguh dan disiplin. Dari kekuatan Panca Bhayunya lahirlah dua orang anak laki-laki dan diberi nama Mpu Bhajrasattwa alias Mpu Wiradharma dan adiknya diberi nama Mpu Dwijendra alias Mpu Rajakertha.
Mpu Dwijendra kemudian melakukan yoga semadhi. Berkat yoga semadhinya itu, lahirlah dua orang anak laki-laki, yang sulung bernama Gagakaking alias Bukbuksah dan adiknya bernama Brahmawisesa. Selanjutnya, Brahmawisesa melakukan yoga semadhi, dari kekuatan Panca Bhayunya, lahirlah dua anak laki-laki, masing-masing bernama Mpu Saguna dan Mpu Gandring. Mpu Gandring wafat ditikam oleh Ken Arok dengan keris buatan Mpu Gandring sendiri. Sedang Mpu Saguna, dari yoga semadhinya melahirkan seorang putra laki-laki bernama Ki Lurah Kepandean, yang selanjutnya menurunkan Wang Bang yaitu Warga Pande (Maha Semaya Warga Pande).
Adapun Mpu Bhajrasattwa, berkat yoga semadhinya, menurunkan seorang putra bernama Mpu Tanuhun alias Mpu Lampitha. Kemudian Mpu Tanuhun juga melakukan yoga semadhi, kemudian dari kekuatan bhatin dan Panca Bhayunya, beliau menurunkan lima orang putra yang juga dikenal dengan sebutan Panca Tirtha (Panca Sanak). Kelima putranya tersebut antara lain :

1. Sang Brahmana Panditha (Mpu Gni Jaya).
2. Mpu Mahameru (Mpu Semeru)
3. Mpu Ghana
4. Mpu Kuturan
5.
Mpu Beradah (Peradah)

Semua telah menjadi wiku. Semenjak beliau masih kecil-kecil, semuanya tekun menjalankan swadharmanya masing-masing.
Selanjutnya dari yoga Hyang Putra Jaya, lahir dua orang putra putri masing-masing bernama, yang laki bernama Betara Ghana dan yang perempuan bernama Betari Manik Gni. Ketujuh putra-putri Hyang Agni Jaya dan Hyang Putra Jaya, pergi ke Gunung Semeru, menghadap Hyang Pasupati, untuk memperdalam ajaran agama dan kependetaan. Setelah sama dewasa dan telah sama tamat dalam hal menuntut ilmu, maka Betari Manik Gni dikawini oleh Sang Brahmana Panditha, sejak perkawinannya itu Sang Brahmana Panditha, berganti nama Mpu Gni Jaya. Setelah sekian lama putra putri Hyang Agni Jaya dan Hyang Putra Jaya berada di Gunung Semeru, pada suatu hari yang baik, Hyang Pasupati bersabda kepada cucu-cucunya, sabda Betara Kasuhun: “Wahai cucu-cucuku semua, kamu telah sama dewasa dan telah tamat dari menuntut ilmu, demikian juga telah sama menjadi Pendeta, aku memberi ijin kepadamu untuk kamu kembali ke Nusa Bali menghadap orang tuamu, turut menjaga Nusa Bali”.
Demikian sabda Hyang Pasupati.
PUSTAKA BABAD PASEK 00:32

KEBERADAAN MPU GHANA & MPU KUTURAN

Mpu Gana ke Bali tahun Çaka 922 (th 1000 M), setibanya di Bali langsung menghadap Betara Tiga, lanjut Mpu Gana ditugaskan di Gelgel Dasar Bhuana.

MPU KUTURAN
Mpu Kuturan menyusul saudaranya turun ke Bali tahun Çaka 923 (th 1001 M), berperahu daun kapu-kapu dan berbidakkan daun bende, turun di Pantai Padang. Demikian bunyi Prasasti yang menyebutkan Pemargin Mpu Kuturan ke Bali :
“Kunang sira Mpu Kuturan turun wentening Bali, apadawu witning kapu-kapu, abidak rwaning benda, turun maring kakisiking Bali ring Padang, kala diwe udha siwa wara Pahang, titi sukla paksa madu, sirsa caksu, I sakyem gni suku babahan udani dita 923, neher winangunaken Parhyangan Silayukti, ayoga swala Brahmacari”.
Mpu Kuturan turun ke Bali terdorong oleh beberapa faktor yaitu :

1. Memenuhi undangan Guna Prya Dharma Patni/Udayana Warmadewa, yang memerlukan
keahlian beliau di bidang Agama.
2. Karena ada pertentangan sedikit dengan istrinya (Walu Nateng Dirah/Rangdeng Dirah) yang
menganut aliran Bhairawa (Tantrayana Buddha Kalacakra), sedangkan Mpu Kuturan
menganut aliran Buddha Mahayana (Sekte Tantrayana Kanan).
3. Karena melihat adanya tanda-tanda perpecahan Kerajaan Deha, Mpu Kuturan sebagai
Bhiksuka, lebih mengutamakan ajaran dharma dari kepentingan pribadi. Kesempatan yang
baik ini dipergunakannya untuk merantau ke Bali, menjalankan swadharmanya,
menghajarkan agama.
Dyah Ratna Manggali (Putri Mpu Kuturan) di kawini oleh sepupunya (Mpu Bahula) yang menurunkan Brahmana di Bali. Inilah sebenarnya kawitan bagi Brahmana keturunan Mpu Beradah.
Kembali kepada Mpu Kuturan, setibanya di Padang (Silayukti), entah berapa hari berselang, Mpu Kuturan menghadap kakaknya ke Besakih, yang suatu kebetulan Betara Tiga sedang di Besakih. Betapa gembiranya, lama berpisah, akhirnya bertemu dengan tiada terduga-duga. Mpu Kuturan ke Bali tiada dengan keluarganya. Banyaklah hal-hal yang terjadi pada waktu itu. Akhirnya Mpu Kuturan, ditugaskan selaku Pemimpin Agama di Padang, karena telah menetapnya Mpu Kuturan di Padang, beliaupun membangun Parhyangan sebagai tempat melakukan yoga semadhi, di Padang, yang lebih dikenal dengan nama Silayukti. Rakyat Padang sangat bakti kepada Mpu Kuturan.
Peranan Mpu Kuturan di Bali, selain sebagai senapati di dalam pemerintahan maupun sebagai Guru Besar Agama Siva
dan Buddha, di tengah-tengah masyarakat Hindu di Bali. Mpu Kuturan mengabdikan dirinya pada pemerintahan Guna Prya Dharma Patni/Udayana Warmadewa, Raja suami istri yang berkuasa pada waktu itu. Baginda Raja berasal dari Jawa Timur sedangkan suaminya Udayana Warmadewa adalah keturunan Raja Bali.
Mpu Kuturan yang selalu mendampingi Raja, beliau didudukkan sebagai Ketua Majelis Pekira Kiran Ijro Makabehan (Dewan Penasehat yang beraggotakan seluruh senapati, para Pandita Dangacaryya dan Dangupadhyaya (Siva dan Buddha)). Suatu kesempatan bagi Mpu Kuturan, untuk mengikatkan pengabdiannya kepada masyarakat Bali.
Mpu Kuturan ingin menyelami hati para pemimpin masyarakat Bali, agar dapat menyusun dasar yang kuat bagi tata cara kemasyarakatan yang sebaik mungkin. Mpu Kuturan mengadakan pertemuan besar keagamaan, yang bertempat di Bataanyar, Daerah Kabupaten Gianyar (Samuan Tiga), yang dihadiri oleh Para Tokoh Agama, Pendeta Siva Buddha dan Kepala Sekte Agama. Didalam pertemuan, masing-masing utusan dapat mengeluarkan buah pikiran dengan bebas. Demikian Mpu Kuturan, mempergunakan kesempatan ini untuk memberikan prasaran yang panjang lebar, yang akhirnya prasaran tersebut disambut baik oleh semua tokoh masyarakat. Maka paham Mpu Kuturan yaitu paham Tri Murti, yang paling cocok dijadikan pegangan hidup Masyarakat Bali Hindu, agama yang akan diterapkan adalah Agama Siva dan Buddha, berpusat di Kahyangan Besakih. Untuk membuktikan diterimanya paham Mpu Kuturan, maka setiap Desa Adat, dibangun Kahyangan Tiga yaitu : Pura Puseh, Pura Dalem dan Pura Desa/Bale Agung, tempat memuja Tri Murti. Pada setiap rumah tangga juga diharuskan membangun suatu bangunan suci (Sanggah) yang beruang tiga (Rong Telu/Kemulan), tempat memuja Tri Murti. Demikian cara Mpu Kuturan meletakkan dasar keagamaan, bagi masyarakat Bali, yang mana perlu kita pahami dan kita terapkan secara turun temurun. Usaha Mpu Kuturan didalam mengatur dan membina maasyarakat Bali terjadi kurang lebih tahun 1001
Masehi, hingga sekarang ajaran Mpu Kuturan, masih tetap menjadi dasar bagi kehidupan masyarakat Bali seperti adanya Awig-awig Desa dan Awig-awig Subak, dll.
Pada jaman Pemerintahan Prabhu Airlangga, manakala putra-putranya telah sama dewasa, maka Prabhu Airlangga mengirim utusan ke Bali yang dipimpin oleh Mpu Bradah, menghadap kakaknya ke Silayukti yaitu Mpu Kuturan. Mpu Bradah selaku pemimpin utusan menyampaikan maksud dari Prabhu Airlangga, yang mana agar salah seorang putranya dapat didudukkan menjadi Raja Bali. Permohonan ini ditolak oleh Mpu Kuturan dengan penjelasan bahwa rakyat Bali menginginkan kepemimpinan di Bali berada ditangan Warmmadewa. Dalam hal ini Mpu Kuturan telah mempunyai calon yaitu Çri Anak Wungsu, putra bungsu dari Guna Prya Dharma Patni (adik kandung Çri Airlangga). Mpu Bradah merasa gagal tujuannya, beliaupun mekolem/membuat pekoleman di luar Parhyangan Silayukti. Tempat pekoleman tersebut, sekarang bernama Pura Tanjung Sari, tempat penghayatan Mpu Bradah.
PUSTAKA BABAD PASEK 00:36

ANTARA MPU GNI JAYA & MPU BRADAH

MPU GNI JAYA
Mpu Gni Jaya yang masih tinggal di Gunung Semeru, telah mempunyai tujuh orang putra, dari perkawinannya dengan sepupunya Betari Manik Gni. Adapun nama ketujuh putra beliau tersebut antara lain:

1. Mpu Ketek
2. Mpu Kananda
3. Mpu Wiradnyana
4. Mpu Withadharma
5. Mpu Ragarunting
6. Mpu Prateka
7. Mpu Dangka

Ketujuh Mpu inilah yang menurunkan Maha Gotra Pasek, Tangkas dan Bendesa. Kembali kepada Mpu Gni Jaya, karena beliau akan segera ke Bali, maka Mpu Gni Jaya menasehati adiknya Mpu Bradah dan putra-putranya, demikian sabdanya: “Adikku Mpu Bradah dan anak-anakku semua, saya akan segera meninggalkan adik dan anak-anak, akan kembali keBali, menghadap Hyang Agni Jaya, Hyang Putra Jaya dan Hyang Dewi Danuh, sebab telah sekian lama tidak pernah menghadap Betara-Betari di Nusa Bali. Ini adalah amanatku kepadamu semua, yang kamu harus tetap hormati nanti bila aku telah sampai dan wafat diBali, sembahlah aku olehmu dan keturunan-keturunanmu sampai akhir jaman. Ingat sekali jangan melupakan Petirtayan Hyang Putra Jaya di Besakih, pada hari Purnamaning Kapat, harus anak cucu dan turunan-turunanmu, menghaturkan Pujawali, demikian harus diingat jangan lupa”.
Mpu Gni Jaya segera berangkat pergi ke Bali, pada hari Wraspati (Kamis) Kliwon, sasih Kedasa menuju adiknya di Padang (Silayukti). Banyaklah hal-hal yang terjadi pada saat itu. Begitu Mpu Gni Jaya tiba di padang. Mpu Kuturan melihat kakaknya datang, segera saja menjemput kakaknya, dengan sangat hormatnya menyembah Mpu Gni Jaya dengan tata cara kependetaan.
Mpu Gana mendengar khabar kakaknya datang, segera saja pergi menghadap ke Padang (Silayukti). Betapa gembiranya pertemuan waktu itu. Esoknya, Sukra, Umanis sasih Kedasa Mpu Gni Jaya, Mpu Kuturan dan Mpu Gana menuju ke Gelgel, di Gelgel hanya sebentar saja, langsung menuju Besakih. Karena telah sama-sama berbadan suci, sebentar saja telah sampai di Besakih, langsung menuju ke Parhyangan Mpu Semeru. Mpu Semeru melihat kakak dan adik-adiknya datang, betapa gembiranya, segera menyambut sang baru datang, maklumlah kedatangannya tak terduga-duga. Banyaklah hal-hal yang terjadi pada waktu itu.
Entah beberapa lama di Besakih, demikian juga telah sama-sama dapat menghadap Betara Tiga, yang kebetulan ada di Besakih. Mpu Gni Jaya ditugaskan Apryangan di Lempuyang Madya. Oleh karena keluarga Mpu Gni Jaya masih berada di Jawa, maka beliaupun Ngejawa-Ngebali, lama-lama Mpu Gni Jaya membuat Parhyangan di Lempuyang Madya, tempat menuju dan melakukan yoga semadhi. Sekarang Parhyangan Mpu Gni Jaya, Mpu Semeru, Mpu Kuturan dan Mpu Gana dikenal dengan Catur Parhyangan. Demikianlah halnya Mpu Gni Jaya turun ke Bali setelah selesai memperdalam ilmu kependetaan di Gunung Semeru (Di lingkungan Pura Mandara Giri Semeru Agung –Senduro Agung, Jawa Timur).

MPU BRADAH
Mpu Bradah adalah putra Hyang Agni Jaya yang ke-5 tinggal di Jawa, menjadi Bhagawanta Kerajaan Deha. Beliau mempunyai 2 orang putra putri, yang laki bernama Mpu Bahula, istrinya bernama Dyah Ratna Manggali, masih sepupu (Putri dari Mpu Kuturan). Mpu Bahula juga menjadi Bhagawanta kerajaan Deha menggantikan ayahnya, mempunyai dua orang putra dan empat orang putri, yang laki bernama :

1. Mpu Tantular, pengarang Sutasoma
2. Mpu Siwa Bandu, setri Betari Giri Dewi, juga menjadi Bhagawanta di Kerajaan Deha

Mpu Tantular mempunyai 5 orang putra, masing-masing bernama:
1. Danghyang Panawasikan
2. Danghyang Sidimantra (Mpu Bekung)
3. Danghyang Semaranata
4. Danghyang Kepakisan
5. Mpu Siwa Raga.

Mpu Bekung (Danghyang Sidimantra) berputra sangkaning yoga, putra beliau bernama Ida Manik Angkeran. Ida Manik Angkeran berputra 3 orang, masing-masing bernama :

1. Ida Banyak Wide, menurunkan Arya Bang Pinatih
2. Ida Tulus Dewa, menurunkan Arya Bang Sidemen, seorang kumpi dari Ida Tulus Dewa
(Perempuan) kawin dengan Arya Dauh, menurunkan Arya Dauh
3. Danghyang Semaranata (Asmaranata) berputra 2 orang yaitu:

a. Mpu Angsoka, berputra seorang bernama Mpu Astapaka, menurunkan Brahmana Buddha di
Bali
b. Pedanda Sakti Wawu Rauh (Danghyang Nirartha/Danghyang Dwijendra), ke Bali tahun
1489 M, menurunkan :
- Brahmana Kemenuh wijiling setri – Deha
- Brahmana Manuaba wijiling setri – Pasuruhan
- Brahmana Keniten wijiling setri – Blambangan
- Brahmana Mas wijiling setri – Okan Bendesa Mas
- Brahmana Petapan wijiling setri – Pelayan Okan Bendesa Mas (Ni Brit dan Ni Petapan)

Putra Mpu Tantular yang ke-4 yang bernama Danghyang Kepakisan mempunyai seorang putra, bernama Sri Soma Kepakisan mempunyai putra 4 orang yaitu :

1. Dalem Wayan menjadi Dalem di Blambangan
2. Dalem Made menjadi Dalem di Pasuruhan
3. Dalem Nyoman Sukania menjadi Dalem di Sumbawa (Perempuan)
4. Dalem Ketut Kresna Kepakisan menjadi Dalem di Bali, bekedudukan di Samprangan, keBali
tahun 1350 M berputra 5 orang ( Dalem Tarukan, A.A. Anom Sudira Pering):

a. Sri Agra Samprangan (Dalem Ile) menjadi Dalem Samprangan (hanya sebentar)
b. Dalem Tarukan menurunkan Warga Pulasari
c. Dalem Nyoman (tidak disebutkan namanya)
d. Dalem Ketut Nglesir diangkat menjadi Dalem Gelgel yang pertama tahun 1380 – 1460
Masehi.
e. Dalem Tegal Besung (beribu putri Arya Gajah Para)
Dalem Ketut Nglesir inilah yang menurunkan Dalem
Klungkung.
PUSTAKA BABAD PASEK 00:40
Sapta Resi

KEHADIRAN MPU SEMERU DI BALI

Mpu Semeru mohon ijin untuk pulang ke Bali, menghormat dengan tata cara kependetaan kehadapan Hyang Pasupati dan segera berangkat menuju Nusa Bali, pada tahun Çaka 921 (th 999 M). Beliau menganut sekte Siva. Mpu Semeru segera tiba di Kuntulgading terus melalui Tulukbiu, menuju Besakih, tepatnya pada hari Sukra (Jumat) Kliwon wara Julungwangi, bulan Purnama Raya, sasih Kawulu. Selanjutnya Mpu Semeru, ditugaskan di Besakih mengemban Pura Penataran Agung bersama Tri Warga lainnya yaitu : Pande, Sagening dan Penyarikan. Entah berapa tahun kemudian, Mpu Semeru membangun tempat pemujaan yang disebut Parhyangan, tempat melakukan yoga semadhi. Parhyangan tersebut diplaspas/katuran Karya Agung Pengenteg Linggihnya pada hari Soma (Senin) Umanis, wara Tolu, dipuput oleh Mpu Gni Jaya dan Mpu Withadharma. Parhyangan Mpu Semeru tersebut, sekarang dikenal dengan sebutan Pura Ratu Pasek Besakih (Catur Lawa). Pada suatu hari yang baik, Mpu Semeru akan menghadap Hyang Dewi Danuh ke Ulundanu Batur melewati Tampurhyang. Setibanya di Tampurhyang, beliau berhenti dan beristirahat di tepi Danau Batur, Mpu Semeru tertarik akan kejernihan air danau tersebut, lalu beliau mandi dan lanjut mengadakan yoga semadhi, memuja kehadapan Hyang Dewi Danuh. Setelah itu segera berangkat, dalam perjalanan terlihat olehnya tuwed kayu asem, yang sangat bagus, karena dibuat oleh Dewata. Takdir telah mengatur sedemikian rupa, segera Mpu Semeru beryoga mempersatukan keahliannya, dengan segera saja tuwed kayu tersebut menjadi manusia. Terpukau manusia ciptaan itu, tidak tahu apa yang harus ia perbuat. Segera saja manusia itu menyerahkan diri kehadapan Mpu Semeru, sang Maha Rsipun bersabda; “Wahai manusia apa ada keperluanmu”, manusia itupun matur; “Siapakah yang telah menaruh belas kasihan terhadap hamba ini, menjadikan hamba manusia”. Sang Maha Rsipun menjawab; “Akulah yang menjelmakanmu menjadi manusia”, manusia itupun menelungkup menyembah, memeluk kaki Sang Maha Rsi, seraya matur; “Siapakah sebenarnya Maha Rsi ini”, Mpu Semeru menjawab; “Aku adalah putra Hyang Agni Jaya dari Gunung Lempuyang, aku bernama Mpu Semeru”. Manusia itupun segera lagi menyembah dan matur kehadapan Mpu Semeru: “Maha Rsi, apakah yang hamba pakai membayar hutang hamba kehadapan Maha Rsi, sekarang tuluskanlah paswecan Maha Rsi kepada hamba, bersihkanlah segera kotoran diri hamba, sehingga menjadi bersih untuk seterusnya”. Anugrah Mpu Semeru kepada Si Kayureka, karena di Bali belum ada/kekurangan sulinggih, Si Kayureka diperkenankan menjadi penuntun orang-orang Bali Mula, yang berpusat di Tampurhyang. Si Kayureka diperkenankan menjadi Bujangga selama tiga turunan dan bernama Mpu Kamareka (Mpu Bendesa Dryakah). Ada amanat Mpu Semeru kepada Mpu Kamareka; “Ada keturunanku yang lahir dari Mpu Gni Jaya, yang apryangan di Lempuyang Madya, keturunanmu harus tetap berada di sebelah kiri keturunanku. Demikian juga pada waktu meninggalnya, keturunanmu harus menyembah keturunanku, sebab engkau aguru putra padaku”. Mpu Kamareka sangat tekunnya menjalankan swadharmanya di Tampurhyang. Mpu Kamareka menurunkan Pasek Kayuselem Tampurhyang, turun binurun wredisentana. Di Kayuselem, ada juga Pasek Kayuselem keturunan dari Pasek Bajra ireng tusning Mpu Gni Jaya (kakak dari Mpu Semeru). Entah beberapa tahun kemudian, datang pula ke Bali orang-orang pengiring Rsi Markandeya, yang berasal dari India, yang menyebarkan Agama Hindu pertama di Bali. Beliaulah yang menurunkan Orang Aga dan Bali Mula yang disebut Bujangga Waisnawa. Ramailah sekarang orang-orang yang menyungsung Betara-Betari di Bali. Terus ambil keambil, sama-sama wredisentana.
PUSTAKA BABAD PASEK 00:34
Mpu Semeru
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar